Minggu, 08 Maret 2009

nikmatnya menjelajahi jalan pantura dengan sepeda onthel


Perjalanan

Kuasai pikiran anda, anda dapat , melakukan apa yang anda inginkan dengan pikiran tersebut.
( Plato, filsuf Yunani)



From the bottom of my heart

Kisah perjalanan ini memberi arti sendiri buat saya. Tanpa bantuan orang-orang di bawah ini mungkin kisahnya akan bebrbeda dengan yang kamu baca sekarang.
Kedua orang tua saya , yang telah melahirkan saya dan mengasuh saya hingga sekarang. Mungkin sampai kapanpun saya tidak dapat membalas semua kasih sayang mamak, bapak hanya dengan beberapa bait do’a tiap waktu. Semoga Allah kelak menempatkan mamak, bapak di Surga-Nya
Buat temen saya Sing-sing (Nugroho setyomargono), yang dengan rela (baca: terpaksa) mungkin, membantu saya mengambil beberapa foto di kos, sebelum saya malukukan perjalanan. Thank’s for you. Nothing’S else Matter’s (maksa banget)
Ryan , temen saya yang telah membuatkan cover buku perjalanan. Makasih waktu dan keahlian kamu aku hargai, sehingga kisah perjalanan ini dapat di baca temen-temen kos (baca: dulu). Agus Suharyanto, Ryan atau siapapaun nama kamu sekarang, where are you now?
Buat temen-temen di sepanjang perjalanan, makasih bantuan kalian untuk mengambil beberapa foto sehingga perjalanan ini dapat dinikmati temen-temen semua. Nantikan aku lain waktu , dengan perjalanan yang berbeda.
Buat anak-anak NeoKost (baca :rumah singgah) Arman kumbo, Agus ndlondeng, Suci jun, Bayu black, Wisnu kenu, Mamat, Obet kenedy, Donny, Arga, Eko mbonggring, Tommy, Pethek (almarhum), Guntur, Edy, Yonni, Singgih, Teguh, Mukti lucas widodo, I’ing Jaelani, Agung tatang, Dedi, Deni, Deni (almarhum), Agus kempot, Imade gigek, Anton,






Manusia kadang bermimpi, berkhayal malakukan sesuatu yang kadang diluar akal sehatnya. Dari mimpi itulah muncul niat hati saya melakukan perjalanan, untuk membuktikan pada diri saya pribadi. Mampukah saya menempuh perjalanan dari kota Solo dimana saya menuntut ilmu untuk masa depan menuju desa kelahiran saya di kota Pemalang.

Perjalanan
awal sebuah impian, hari pertama [10-Juli-2004]

Setelah persiapan saya rasa mantap, barang yang aku perlukan sepanjang perjalanan telah saya kemas dengan rapih. Tas punggung warna hitam yang penuh telah menggantung di punggung saya, pagi buta tanggal 10 Juli 2004 perjalanan di mulai. Jam di dinding kamar kos saya menunjukkan angka 04.50, dengan tas yang saya rasa agak berat , saya membangunkan teman kos saya. Namanya sing-sing asal Balong, kota Sragen. Dia anak senior waktu itu di kos saya, tempat kos saya lumayan banyak, kamarnya ada 20 kamar dan saya tingal di kamar bawah. Sebelum berangkat saya sempatkan untuk mengambil beberapa foto di kamar dan di depan kos saya, untuk sesaat kemudian aku berpisah dan mulai mengayuh sepeda dari kos sampai ke Kartasura.


Kartasura adalah kecamatan pertama di Surakarta yang saya lewati di pagi buta, saya mengayuh dengan penuh semangat dan senyum mengembang di sudut bibir.
Setelah perjalanan memekan waktu kurang lebih satu jam dari tempat kos, akhirnya saya sampai di kota Boyolali. Saya melihat jam di tangan kananku menujukkan pukul 06.15 WIB, karena merasa cukup lelah aku memutuskan untuk istirahat sejenak di sebuah warung kosong di kiri jalan. Sambil beristirahat, saya sempatkan untuk mengecek keadaan sepeda, sebernarnya sebelum berangkat saya sudah mengganti semua ban dalam dengan yang baru, takut kalo nanti bocor di jalan. Ban sepeda kelihatan agak kempes, kebetulan di seberang kanan jalan saya beristirahat ada sebuah bengkel tambal ban yang sudah buka, bengkelnya lumayan cukup besar menghadap ke selatan. Saya meminjam pompa angin yang tergeletak di sudut ruangan, setelah semuanya beres, saya mengucapkan terima kasih dan melanjutkan perjalanan menuju kota Mojosongo.

Mengayuh sepeda onthel beberapa jam membuat perutku keroncongan, akhirnya saya memutuskan untuk mencari warung makan sekedar istirahat dan mengisi perut. Sebenarnya sebelum berangkat ssaya sudah sarapan dengan beberapa roti tawar dan selai yang aku beli di Relasi swalayan di dekat tempat kos, tapi ternyata perut saya tidak terbiasa dengan makanan ala Eropa itu. Di sebuah musholah kecil aku berhenti sebentar untuk ke kamar mandi, setelah duduk-duduk sebentar saya langsung malanjutkan perjalanan. Akhirnya di warung makan kecil di tepi kiri jalan kecamatan Cepogo, Boyolali aku istirahat sambil memesan nasi sayur lauk ikan bandeng dan segelas es teh.
Warung makan itu lumayan rami oleh pengunjung, mungkin karena makanannya yang saya rasa memang enak. Dengan dua pelayannya mereka dapat melayani pelanggan dengan cepat. Makan dan istirahat sebentar tidak terasa jam dinging di warung itu menunjukkan waktu 09.00, perjalanan masih panjang setelah membayar makanan tadi segera aku melanjutkan perjalanan menuju kota Salatiga, Semarang. Mengayuh sepeda dengan perut kenyang terisi dan semangat yang mulai kendor, saya rasakan memang berat, tapi saya sudah bertekad untuk sampai rumah dengan mengayuh sepeda onthel. Sewaktu di jalan yang mulai menanjak naik di kota Salatiga, saya merasa hampir menyerah karena tidak kuat untuk mengayuh sampai di jalan sebelah atas. Kemiringan jalan di Salatiga saya rasa sekitar 350 - 400 dan itu akan saya lalui sampai nanti melewati kota Semarang dan akan berulang lagi nanti di kota Batang dengan “ Alas Roban” nya.

Saya istirahat sebentar sambil kembali membulatkan tekad yang telah aku bangun beberapa bulan sebelumnya. Sempat terbersit di pikiran saya untuk naik bis umum saja sampai di rumah, karena saya rasakan memang begitu melelahkan. Berbeda waktu saya mendaki gunung bersama teman kos, waktu itu di guyur hujan sepanjang pendakian dan tanpa alas kakipun saya dan dua teman saya sampai di puncak Merbabu, Boyolali Jawa Tengah. Saya merasa perjalanan kali ini lebih berat dari mendaki gunung. Setelah istirahat sebentar dan tekad kembali sudah bulat saya melanjutkan perjalanan, saya kayuh sepeda gunung warna biru yang saya beli di pasar Legi kota Solo dengan harga Rp 275.000,- hasil uang tabungan saya.
Pasar Legi memang manjadi tempat tujuan orang kota Solo untuk berburu bermacam barang kebutuhan, dari barang bekas sampai yang baru dari yang murah sampai yang jutaan. Berbeda suasana di waktu malam hari, tempat ini berganti dengan suasana romantis, banyak kupu-kupu malam, tua muda mananti laki-laki hidung belang mengajaknya untuk berkencan kilat. Hal ini sudah berlangsung puluhan tahun di tempat itu tiap malam. Sekitar pukul 10.45 WIB, saya sampai di kota Salatiga dan istirahat sebentar di perempatan jalan dekat showroom motor ,sebelah barat kampus Satya Wacana. Siang itu cuaca cukup panas, setelah istirahat sebentar, saya melanjutkan perjalanan. Mengayuh sepeda dengan kuat pada jalan yang makin menanjak saya oper gigi roda dengan yang paling ringan agar sepeda dapat di kayuh dengan mudah, tetapi jalan yang makin menanjak membuat kaki saya kram. Buru-buru saya berhenti dan istirahat lagi di tepi jalan sambil meluruskan dan memijat kaki. Dengan wajah yang sudah lusuh karena terkena asap kendaraan sepanjang perjalanan dan tatapan mahasiswa dan mahasiswi yang mau masuk kuliah, orang-orang di jalan tidak saya hiraukan, rasa malu sudah aku kubur dalam-dalam. Yang saya rasa hanya udara yang panas dan kaosku yang telah basah di balut sweater coklatku.
Setelah istirahat dan minum air mineral kemasan yang saya bali dari warung di Boyolali tadi, saya kembali melanjutkan perjalanan ke kota selanjutnya. Mengayuh sepeda beberapa jam saya memutuskan untuk istirahat lagi di sebuah masjid yang cukup besar. Tempatnya menjadi satu dengan kompleks panti asuhan di kecamatan Tuntang, Salatiga. Sepeda saya parkir di depan masjid besama sepeda lainnya, tidak lupa saya kunci dengan rantai kunci yang saya beli di pasar Jongke, Laweyan dengan harga Rp. 10.000.-
Ingin segera melepas rasa lelah, saya langsung melepas sepatu cats warna biru yang saya beli setahun lalu, dan sweater yang mambuat saya kepanasan. Badan yang lelah akhirnya dapat saya istirahatkan di atas lantai keramik masjid yang dingin. Masjid itu lumayan besar, di bangun oleh sebuah yayasan yatim piatu. Karena rasa lelah, tidak terasa saya ketiduran hampir 1 jam. Suara adzan waktu sholat dluhur membangunkan saya, yang saya rasa istirahatnya hanya sekejap. Buru-buru saya bangun dan menuju kamar mandi untuk membersihkan peluh dan hitamnya wajah karena asap. Setelah mengganti pakaian dengan yang bersih, saya segera melaksanakan sholat dluhur yang saya jama’ dengan ashar. Selesai sholat dan berganti pakaian dengan yang kotor tadi, berkemas dan siap melanjutkan perjalanan. Sebelum berangkat saya membeli air mineral di koperasi kecil yang di kelola oleh anak-anak yatim di masjid itu. Saya merasa salut akan kemandirian mereka, umur mereka tidaklah lebih dari puluhan tahun, tapi sudah pandai mengatur koperasi, diajarkan kemandirian dan tanggung jawab.
Saya melanjutkan perjalanan sekitar pukul 12.30, terasa panas memang, tapi saya tetap harus melanjutkan. Menuju kota berikutnya saya rasa sangat melelahkan sekali, karena cuaca yang panas, sengatan matahari musim kemarau, belum lagi asap knalpot dan saya harus bersaing dengan laju kendaraan besar bis, truk gandeng dan kadang-kadang pemgendara motor yang ugal-ugalan. Berkali-kali saya harus membulatkan tekad yang terus kendor. 1 jam tiga puluh menit sudah aku mengayuh pedal sepeda meninggalkan masjid di Tuntang sampailah saya di sebuah pom bensin di wilayah timur Semarang.
Di pom bensin itu saya istirahat d an menyantap roti yang saya bawa, di situ saya berkenalan dengan anak kota Bawen, Semarang. Namanya Selamet, kuliah di Universitas Diponegoro Semarang, dia sedang mengisi bensin sepeda motornya. Bercakap-cakap sebentar saya meminta tolong Selamet untuk mengambilkan beberapa foto dengan latar belakang pom bensin. Meneruskan perjalanan dari pom bensin ke pusat kota Semarang lumayan cukup jauh, saya sengaja memilih jalur selatan lewat bukit Gombel karena suasana yang enak dan jalan yang menurun. Bukit Gombel memang mengasyikkan untuk di lewati, jalannya yang berkelok-kelok, teduh, dan dapat melihat kota Semarang dari atas bukit. Jalan yang menurun membuat saya tidak perlu repot-repot mangayuh pedal sepeda, Sepeda saya meluncur dengan cepat sekali, perasaan dalam hati saya mulai takut kalau menabarak kendaraan lainnya. Kecepatan sepeda saya kira-kira hampir 60 km/jam, itu saya ketahui ketika saya melaju berjajar dengan sepeda motor dan saya malihat spedometernya. Dengan kecepatan seperti itu saya merasa ketakutan, jalan yang berkelok-kelok memaksa saya untuk menggunakan kedua rem sepeda untuk berhenti, tetapi karena laju sepeda yang kencang kedua rem sepeda tidaklah cukup, sehingga dengan reflek saya menggunakan sepatu kaki kanan saya untuk mengerem. Akhirnya sepeda berhenti juga di sebuah traffic light, istirahat sebentar untuk menenangkan hati dan kemudian saya melanjutkan lagi perjalanan.
Di pinngiran kota Semarang tiba-tiba saja ranrai sepeda saya putus, perasaan kesal mulai meliputi hati saya. Terpaksa saya harus berhenti untuk memperbaiki dengan alat yang saya bawa dari kos, obeng dan kunci inggris saya gunakan untuk memperbaikinya, setelah dapat disambung kembali saya memutuskan untuk istirahat sebentar. Saya membeli ice cream yang kebetulan melintas di depan saya. Saya memang sudah mempersiapkan peralatan sederhana untuk berjaga-jaga kalau- kalau ada kerusakan di jalan sepi, sehingga saya dapat memperbaikinya sendiri. Seperti biasa, setiap ada momen penting pasti saya abadikan dengan kamera manual yang saya pinjam dari Romlan gondrong, dia teman kos saya waktu saya pindah kos di desa Windan, Makamhaji. Dia orangnya baik, di Solo membuka bengkel servis mobil bersama kakaknya, asalnya dari Cilacap Jawa Tengah.
Pukul 15.25 WIB ditunjukkan oleh jam yang saya pakai, perjalanan saya lanjutkan menuju perbatasan sebelah barat kota Semarang memasuki kota Kendal. Sepeda saya kayuh dengan santai, karena cuaca yang masih panas dan suasana kendaraan di jalan cukup berlalu-lalang orang pulang dari kantor, anak sekolah, semua bersaing untuk cepat sampai ke rumah. Di sekitar tengah kota Semarang, rantai sepeda saya putus lagi. Hal itu mengendorkan semangat saya lagi, saya hanya bisa mengeluh dan istirahat sebentar. Saya berpikir mungkin tadi saya memasangnya dengan tidak benar, yah karena peralatan yang saya pakai hanya obeng dan kunci inggris. Untung saja tidak jauh dari saya beristirahat ada bengkel motor, segera saja saya menyebrang ke kanan jalan menuju bengkel itu.
Sambil beristirahat dan rantai sepedaku diperbaiki, momen yang terjadi aku tangkap dengan kamera. Sesudah kurang lebih 15 menit diperbaiki, rantai sudah kembali tersambung saya membayar lalu kembali melanjutkan perjalanan menyusuri sela-sela padatnya kendaraan kota Semarang yang masih panas menyengat walupun sudah agak sore. Pukul 16.30, saya memutuskan untuk istirahat di sebuah masjid yang cukup besar di pintu keluar jalan tol Semarang sebelah barat. Masjid ini kelihatannya masih di renovasi, bambu-bambu penyangga pembuat kolom dan balok bangunan terlihat berdiri dimana-mana. Keadaannyapun agak berantakan, tetapi tempat untuk sholat masih dijaga tetap bersih. Sepeda saya parkir dekat masjid, duduk-duduk sebentar melepas lelah di sela-sela bambu penyangga, untuk kemudian saya berniat membersihkan badan, mandi. Mandi sebentar menyegarkan semangat saya, berganti dengan pakainan bersih, kemudian duduk di tengah masjid menanti waktu azdan magrib.
Sholat magrib telah selesai, sebelum saya memutuskan untuk menginap di masjid itu saya meminta ijin kepada satpam yang berjaga di situ. Namanya pak Bambang, orangnya agak gemuk, tinggi asli dari kota Semarang. Pak Bambang memang orang baik, saya diijinkan untuk menginap. Sebelum tidur, tidak lupa saya melaksanakan sholat Isya’ dulu. Sebenarnya saya ingin langsung tidur dan melemaskan otot-otot yang seharian mengayuh sepeda, tapi rasa kantuk tidak juga datang. Saya berbincang-bincang dengan pak Bambang, yang ternyata sudah memiliki dua anak putra dan putri. Saya sempat dimintai uang untuk beli kopi dan rokok, tapi setelah saya cerita tentang perjalanan itu dengan sepeda pak Bambang tidaklah tega. Tidak terasa ngobrol dengan pak Bambang, jam di dinding masjid menunjukkan pukul 00.10 menit. Suasana masih ramai karena masjid itu di bangun dekat dengan jalan raya pantura.
Sebelum saya tidur, pak Bambang meninjamkan kunci gembok yang biasa di pakai pada mengunci pintu gerbang untuk mengunci roda sepeda saya. Karena dia khawatir dengan keamanan sepeda saya. Diatas alas tikar yang di berikan pak Bambang, setelah minum obat penghilang rasa pegal-pegal aku rebahkan tubuh yang lemas dan gantuk. Lama aku mencoba untuk tidur, sambil sesekali melihat kearah sepeda, saya juga khawatir jika sepeda saya hilang, maka musnah sudah impian untuk dapat sampai di rumah dengan sepeda. Akhirnya, entah jam berapa saya dapat tertidur walauun banyak nyamuk yang menggigit, setelah seharian mengayuh sepeda sejauh hampir 70 km dari Solo sampai kota Semarang.

Hari kedua
Bertemu para “bikers” [11-Juli-2004]

Suara adzan shubuh membangunkan tidur yang saya rasa hanya sekejap sekali, tetapi jama’ah sholat shubuh sudah banyak yang berdatangan. Saya segera bangun dan menuju kamar mandi untuk membersihkan badan kemudian mengambil air wudlu. Berganti dengan pakaian bersih saya pun siap untuk sholat berjama’ah dengan warga sekitar. Pagi itu, tanggal 11 juli 2004 saya mempersiapkan mental untuk kembali meneruskan perjalanan yang masih jauh sekitar 100 km lagi. Pukul 04.30 ditunjukkan oleh jam dinding masjid, setelah berpamitan dan berterimakasih pada pak Bambang, saya langsung mengayuh pedal sepeda dengan semangat.
Tanpa sempat sarapan, badan yang masih segar oleh udara shubuh saya terus menembus pagi yang masih agak gelap. Udara pagi itu memang terasa segar tanpa di racuni asap knalpot kendaraan. Mengayuh sepeda pada hari minggu memang enak sekali, karena ternyata saya tidaklah sendirian. Saya mendapatkan banyak teman bersepeda pada hari itu, tua muda, bapak ibu, semua mengayuh sepeda dengan gembira sesekali bercanda.
Hari minggu yang biasanya saya lewatkan di tampat kos untuk mencuci pakaian, membersihkan kamar nonton tv dengan teman-teman, sekarang saya harus mengayuh sepeda menuju satu impian sampai ke rumah tercinta. Tak terasa mengayuh sepeda di pagi hari yang cerah itu, sampailah saya di sebuah tugu ciri khas kota Kendal. Di kanan kirinya megah berdiri tugu selamat datang tanpa di cat, tempat itu ada taman kecil yang indah dengan bunga-bunga. Saya sempatkan untuk istirahat, bercakap-cakap dengan teman baru disitu.
Mengambil beberapa foto untuk dokumentasi, di arah tenggara terlihat gunung merbabu tinggi menghujam kelangit. Pagi yang indah membuat gunung tampak kokoh menjulang, di arah selatan terlihat pula beberapa gunung yang agak tertutup kabut. Gunung merbabu dan merapi pada waktu liburan semester kemarin sudah saya taklukan bersama teman-teman saya. Mengayuh sepeda meneruskan perjalanan yang masih jauh saya nikmati dengan tetap bersemangat, pada pukul 06.10 WIB saya berhenti di sebuah monumen tugu. Sebuah patung berdiri tegak memegang tombak, di sekitarnya ramai anak-anak bermain di tamannya. Tertarik juga, akhirnya sepeda saya parkir lalu menyeberang ke kanan jalan tempatnya yang di tengah jalan sebagai separator. Setelah mengambil beberapa foto di tempat itu, istirahat sejenak sambil melihat ke arah selatan terhampar hijau sawah yang agak tertutup kabut tipis.
Puas merasakan udara sejuk, saya malanjutkan perjalanan menuju pusat kota Kendal. Kota Kendal terletak beberapa kilometer di sebelah barat kota Semarang, pukul 06.30 saya memasuki wilayah kota Kendal. Sampailah saya di pembatas kota Kendal, kata selamat datang kota Kendal menyambut setiap orang yang melintas. Bangunan beratap joglo itu berdiri kokoh melintang jalan, di sebelah barat jembatan. Di dekat tempat itu saya istirahat, memakan pisang yang sempat aku beli tadi di warung tepi jalan. Saya sempatkan berfoto-foto sendirian karena todak ada orang yang malintas pagi itu, dengan latar belakang bagunan selamat datang. Di sebelah selatan saya istirahat sebenarnya ada warung makan, tetapi perut saya belum terasa lapar.
Dari bangunan joglo saya kemudian meneruskan perjalanan, mengayuh sepeda selama 30 menit sampailah saya di tugu selamat tinggal kota Kendal. Walaupun belum sarapan, melewati bawah tugu itu senyum masih mengembang di bibir. Di sepanjang jalan kota Kendal, saya banyak bertemu dengan club sepeda, mereka berjalan seri di tepi jalan. Sepeda yang aku kayuh beberapa saat dari tugu itu, kira-kira jam 09.30 sampailah saya di tempat yang membuat ciut nyali saya. Tempat ini banyak polisi tidur, karena memang jalan yang menanjak sehingga perlu banyak di buat polisi tidur untuk mengurangi kecelakaan lalulintas.
Alas roban, yah tempat itu di namakan begitu oleh orang-orang kota Kendal, terletak di jalur pantura. Pada waktu siang hari, tempat itu memang memiliki pemandangan yang indah. Tetapi pada malam hari tempat itu seolah menjadi sarang bandit-bandit jahat, minimnya lampu penerangan jalan membuat tempat itu menyeramkan bagi orang yang melewatinya. Saya sengaja melewati alas roban pada siang hari, banyak pengemis di sepanjang jalan, menanti belas kasihan orang untuk melempar beberapa uang koin dari dalam kendaraan mereka. Sebelum melewati jalan yang makin naik aku istirahat sebentar, gigi sepada saya pindah ke paling atas untuk memudahkan saya menyusuri jalan itu. Jalan naik membuat saya tidak kuat mengayuh lagi, akhirnya saya turun dari sepeda dan memutuskan berjalan kaki sampai melewati jalanan bukit alas roban.
Alas roban memang sebuah gundukan bukit kecil, tetapi jalanan yang terus naik membuat saya cukup kelelahan. Di tengah jalan saya beristirahat di tepi jalan sejenak, istirahat di situ dengan wajah kusut dan baju lusuh oleh asap, membuat saya terlihat seperti para pengemis. Berbica dengan para pengemis ebentar untuk kemudian melanjutkan perjalanan memegang sepeda sejauh kurang lebih 8 km, setelah terus berjalan akhirnya saya dapat melewati alas roban. Di tampat itu banyak perempuan-perempuan berjualan es kelapa muda, tempatnya sejuk karena banyak pohon besar di kanan kiri jalan daunnya yang menjuntai ke jalan seolah memayungi orang yang lewat di jalan.
Sekedar untuk melepas lelah setelah jauh berjalan, saya berhenti di sebuah warung dan memesan es kelapa muda. Haus membuat dalam sekejap saja es yang di campur dengan sedikit gula merah itu habis, tersisa kelapanya saja. Saya meminta tolong pedagang es untuk mengambil beberapa foto di situ, tempat itu memanglah menjadi tempat singgah para sopir untuk melepas lelah setelah berjalan dari Semarang ataupun dari kota Jakarta yang melewati jalan pantura. Jam tangan saya menunjukkan pukul 10.25 segera setelah membayar dan berterimakasih saya malanjutkan perjalanan menuju kota Batang.
Saya melanjutkan perjalanan menyusuri rindangnya hutan jati di sepanjang jalan pantura, jalan yang menurun membuat saya tidak usah repot mengayuh sepeda. Sesekali saya berdiri di atas pedal sepeda, sekedar untuk mendinginkan pantat saya yang kepanasan karena busa sadelnya memang tipis. Hal ini saya lakukan berkali-kali karena semakin lama ke arah barat cuaca semakin panas. Berhenti di tepi jalan saya lakukan beberapa kali untuk melepas lelah, membuka sweater dan sekedar berjalan-jalan kecil meredam panas ,melemaskan otot. Memang jalan yang kadang turun lalu naik lagi, memaksa saya harus berkerja keras mangayuh sepeda, kadang harus turun dan berjalan lalu mengayuh lagi.
Pukul 13.30 WIB siang memang panas sekali menyusuri aspal, hawa panas yang memancar dari aspal menambah panas sengatan matahari. Keringat yang saya rasa sudah membuat basah kaos saya, berhenti sebentar untuk kesekian kalinya sekedar mengatur napas. Di tepi kiri jalan ada sebuah mushola kecil, jalan masuk yang agak sedikit menurun ke kiri. Melepaskan lelah langsung saya membuka sepatu warna biru, membuat pori-poti kaki saya yang lembab seolah dapat bebas menghirup udara bebas. Sweater coklat kusam juga saya buka, tubuh saya seolah terlepas dari beban yang berat selama perjalanan. Melepaskan semua beban, menelantangkan tubuh di lantai musholah membuat keinginan cepat sampai di rumah melintasi pikiran saya. Tapi, tubuh yang lelah akhirnya tidak dapat di tahan lagi, rasa kantuk menyerang dan akhirnya sayapun terlelap di lantai.
Sekitar sepuluh menit mungkin saya tertidur, sayapun terbangun langsung menuju kamar mandi. tempatnya kecil di sebelah kiri musholah, di pojok kiri ada tempat air terbuat dari drum besi kurang lebih setinggi dada saya. Setelah selesai, saya langsung mengambil air wudlu dan kemudian melaksanakan sholat ashar. Rasa lelah memang sedikit berkurang, istirahat yang sebentar tadi telah memulihkan tenaga saya. Tetapi rasanya saya masih ingin lebih lama lagi, minuman kemasan yang tinggal sedikit langsung saya habiskan memenuhi hasrat haus saya. Roti dalam tas masih ada, tapi perut saya tak berminat. Waktu itu sudah pukul 14.15 sore, tetapi panas matahari membakar bumi seolah-olah tak ada surutnya. Saya sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan setelah semua barang saya kemas kembali ke dalam tas.
Melawan teriknya matahari musim kemarau, jalanan yang masih turun naik semenjak memasuki kota Salatiga, tapi saya harus terus mengayuh dan mengayuh pedal sepeda saya. Menyusuri tepi jalan yang menanjak saya harus turun lagi dari sepeda, berjalan beriringan dengan sepeda masih bersaing dengan laju pelan kendaraan berat yang menanjak, bus yang dengan cepat menyalip apalagi sepeda motor yang melesat cepat melintasi sepeda saya, mininggalkan asap. Hal ini tidaklah mudah, tapi bayangan sampai di rumah terpampang jelas di otak saya. Jalan saya semakin saya percepat, sesekali berhanti untuk mengambil napas.
1 jam tiga puluh menit sudah saya melangkah menyusuri tepi jalan pantura debu, panas, malu karena dilahat orang yang menatap saya dengan tatapan aneh seolah mereka bertanya,” apa yang sedang saya lakukan panas-panas begini”. Hal itu sudah saya anggap biasa mulai dari kota Solo.
Memasuki wilayah kota Pekalongan sepeda saya kayuh dengan perlahan, sambil melihat ke kearah atas ada tulisan “selamat datang di kota Pekalongan” dan di sebelah kiri jalan ada sebuah SPBU. Bangunannya agak modern melintang jalan dengan megah. Pekalongan memang kota yang cukup pesat pertumbuhan ekonominya daripada kota Pemalang, di Pekalongan produk-produk kain di buat menjadi beragam pakaian jadi. Dari batik, kaos, celana jeans, kain sprei dan masih banyak kain lainnya. Kain batik kota Pekalongan sudah mempunyai tempat khusus bagi kolektor dan peminatnya.
Pelan tapi pasti saya kayuh sepeda, menahan tas di punggung membuat tulang belakang saya agak nyeri. Di bawah pohon beringin di krir jalan yang rindang saya memutuskan beristirahat sebentar. Di atas rumput taman jalan, saya meluruskan kaki melemaskan otot, saya merebahkan badan melemaskan tulang belakang. Minuman saya keluarkan dari tas, saya minum perlahan-lahan sambil melihat ke sungai kecil yang menjorok di tepi jalan. Ikan-ikan kecil memperebutan sesuatu, membuat air yang dangkal beriak bergelombang.
Di seberang kanan jalan terlihat ada seorang ibu dan anak kecil sedang berteduh di samping tugu kota Pekalongan. Saya menghampiri mereka, anaknya berbaju merah nampak lusuh berkeringat dan saya meminta tolong sama ibu untuk mengambil beberapa foto di situ. Berbicara dengan mereka sebentar, mengucapkan terimakasih lalu berpamitan untuk kembali melanjutkan perjalanan untuk kota yang terakhir, Pemalang.
Hampir sudah setengah jam saya mengayuh sepeda, saya melewati terminal kota Pekalongan yang baru. Terminal itu baru di bangun tahun 2003 kemarin, di jalan depan terminal saya berhenti di traffic light . Lama mengayuh sepeda, perut saya mulai merasa lapar karena dari musholah tadi saya belum makan. Melewati tengah kota Pekalongan mata saya terus mencari warung makan di sepanjang jalan pantura.
50 menit melewati sepanjang jalan kota Pekalongan di pantai utara jawa, akhirnya pilihan saya jatuh pada warung kayu di pojok kiri jalan sebelum jembatan PT. Dupantex, menu yang disajikan cukup banyak walaupun warungnya agak kecil. Ayam kuah sayur santan jadi menu pilihan saya pada sore itu. Perut yang keroncongan membuat dalam sekejap saja nasi dalam piring telah berpindah kedalam perut saya, es jeruk segar menjadi penutup makan sore saya. Mungkin karena penampilan saya yang agak lusuh berkeringat, ibu pemilik warung bertanya dengan nada heran pada saya,” mas, sore-sore begini kok mau kemana?” sambil melihat keluar ke arah sepeda. ” Dari Solo mau ke Pemalang bu” jawab saya sekenanya, dengan mengerutkan dahinya ibu itu memandang saya agak keheranan. Selesai makan, saya membayar dan ternyata saya diminta hanya membayar setengahnya saja.
Saya langsung mengayuh sepeda meninggalkan pemilik warung yang masih keheranan dan penasaran, apakah saya berbohong. Perut yang terisi penuh, membuat saya tidak bisa mengayuh sepeda dengan cepat, jalan berlobang di depan pabrik tekstil Dupantek mamaksa saya memilih jalan pelan. 40 menit sudah setelah saya makan, perjalanan sampai di kecamatan Comal. Kecamatan ini membawahi beberapa desa, termasuk desa saya tercinta. Kecamatan ini menjadi pusat perdagangan dari beberapa daerah, pasar comal memang kecil, tetapi perputaran uang sangat besar dan cepat disitu.
Waktu kecil, ibu saya biasa mengajak saya berbelanja pada hari minggu. Dengan naik delman [baca: kereta kuda] yang biasa parkir di seberang sungai Comal dekat desa saya. Saya dan ibu harus menyeberang sungai dengan perahu kecil yang di kayuh dengan bambu kecil. Sampai di seberang sungai barulah saya dan ibu naik delman pergi ke pasar Comal dengan membayar beberapa ribu rupiah. Di sebuah tikungan setelah melewati jembatan yang memotong sungai Comal, saya menyeberang ke arah kanan menuruni jalan ke arah utara, jalannya semakin meyempit. Sampai di tempat ini, membuat pikiran saya merasa segar kembali, karena perjalanan selama hampir 2 hari 1 malam akan selesai.
Saya mangayuh sepeda dengan lebih semangat, seperti waktu saya keluar dari tempat kos saya di pagi hari. Melewati desa-desa kecil menuju desa saya sudah tidak asing lagi, dulu hampir tiap hari saya melewati jalan itu. Dengan seragam sekolah SMU dan naik kendaraan honda tiger 1998 punya kaka saya. Dulu sewaktu saya masih SMU, melewati jalan yang sama dengan yang saya lewati sekarang. Pukul 16.25 WIB saya memasuki desa yang telah membentuk sebagian dari pribadi saya. Kanan kiri masih di hijaukan hamparan sawah, sebagian telah menguning siap untuk di panen.
Sama seperti masa kecil saya?, ternyata perubahan di desa saya memang agak lambat, tetapi membuat kampung halaman saya tetap asri dan alami. Masih banyak terdengar suara burung, angin berhembus nenerobos daun cemara di sepanjang jalan. Dengan senyum tanda kemenangan mengembang di bibir saya, saya terus mengayuh sepeda. Dengan topi warna hitam dan kuning berangka 30 menutipi kepala saya. Topi itu saya beli waktu di Solo ada acara Sekaten tahunan di alun-alun utara keraton.
Waktu saya sampai di rumah, mamak yang masih menyapu halaman rumah tidak mengenali saya yang pulang. Memang saya mengenakan topi dan sweater lusuh. Setelah saya membuka topi, barulah mamak tahu kalau itu adalah saya. Dengan wajah keheranan dan dahi berkerut, tangan mamak saya cium seperti biasanya. Bapak yang masih sibuk dengan peralatannya di bawah kolong angkot, tidak tahu kedatangan saya. Setelah melepas semua beban yang melekat di tubuh saya, saya menghampiri bapak di bawah kolong angkot dan langsung mancium tangannya yang kotor kena bekas oli.
Pertanyaan yang sama terlontar dari bapak, seperti yang ditanyakan pemilik warung tadi, tapi saya hanya diam saja. Benar dugaan saya, bapak melihat kearah sepeda warna biru yang saya parkir di samping rumah. Dan bertanya “kamu naik sepeda dari mana?” sambil melangkah masuk ke rumah saya menjawab dengan singkat, “dari Solo”. Bapak yang tidak puas dengan jawabannya segera menyusul ke dalam rumah yang tidak begitu besar. Melontarik saya dengan pertanyaan-pertanyaan keheranan dan tidak percaya. mamak melihat sekilas ke arah saya, saya tahu kalau beliau cemas melihat keadaan saya yang agak lusuh kelelahan.
Dengan telanjang dada dan hanya mengenakan celan jeans saja, saya meminta tolong adik perempuan saya untuk mengabadikan momen waktu itu. Pertanyaan nada keheranan juga muncul dari adik perempuan saya, dengan agak malas saya menjawab semua keheranannya. Puas dengan jawaban saya adik saya pergi begitu saja. Beberapa saat, saya duduk di sofa ruang tamu. Menatap ke luar menembus kaca cendela warna hitam, langit di sebelah selatan tampak mulai gelap karena waktu itu sudah pukul 17.45 WIB.
Rumah saya memang tidak begitu besar, ruang tamu kecil berukuran 4x4 meter, ruang tengah dan empat kamar tidur di atas tanah seluas 500 m. Ruang makan bersebelahan dengan ruang sholat dan kamar mandi. untuk memasak ibu saya di buatkan dapur yang cukup luas. Seharian berselimut peluh dan asap kendaraan yang melekat di tubuh saya akhirnya hilang tersiram air dingin bak mandi. akhirnya lama setelah aku mengkhayalkan perjalanan ini, dapat saya penuhi walaupun menempuh waktu 2 hari 1 malam.
Sebenarnya ke dua orangtua saya tidak setuju dengan perbuatan nekat saya, tetapi bebarapa hari kemudian mereka dapat memahaminya dan tidak mempersoalkannya lagi. mamak saya yang merasa cemas dengan keadaan saya, segera membelikan saya jamu seduh. Jamu yang telah di buatkan ibu langsung saya habiskan sekaligus, sesudah sholat isya’ saya istirahat di kamar dan entah jam berapa saya akhirnya tertidur lelap karena badan yang sangat lelah. Satu impian saya sudah tercapai. Nantikan perjalanan saya menelusuri jalan pantura dengan petualangan yang berbeda.

2 komentar:

  1. wah keren banget ni berspeda dari solo ampai pemalang. salut deh... jd pgen juga.

    BalasHapus
  2. Salam kenal sedulur ku pasangin banner Blogger Pemalang disini
    Nek blogku Neng kene

    BalasHapus